Senin, 01 Agustus 2011

Biarkan HARAPAN Bercerita Tentang Dirinya


Apa yang mendorong petani berkeringat dan bekerja keras?
Adalah harapan akan memetik panen dari tanamannya.

Apa yang membuat seorang pedagang tergiur melakukan banyak perjalanan,
menempuh marabahaya, meninggalkan keluarga dan tanah air?
Adalah harapan akan mendapat keuntungan.

Apa yang mendorong seorang pelajar bersungguh-sungguh,
terus menerus belajar, begadang di malam hari, meresume dan menghafal?
Adalah harapan akan lulus.

Apa yang mendorong seorang tentara melakukan berbagai manuver heroic
dalam peperangan dan bersabar menghadapi peperangan yang ganas?
Adalah harapan akan mendapatkan kemenangan.

Apa yang membuat seorang pasien dengan sukarela maupun terpaksa meminum obat yang pahit?
Adalah harapan akan sembuh.

Apa yang mendorong seorang beriman menentang hawa nafsunya
dan bersusah payah melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya?
Adalah harapan terhadap ridha dan surga Allah SWT.

Jadi...Biarkan HARAPAN bercerita tentang dirinya.....

(Oleh: Ust. Musyaffa Abdurrahim, Lc.)

Hasrat Mengubah Diri


Ketika aku masih muda serta bebas berfikir dengan khayalan, aku bermimpi untuk mengubah dunia.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.

Maka cita-cita itupun agak kupersempit, dan kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.

Namun tampaknya itupun tiada hasilnya.

Ketika usia senja mulai menjelang, lewat upaya terakhir yang penuh keputus asaan,
kuputuskan untuk mengubah hanya keluargaku, yaitu orang-orang yang paling dekat denganku.

Namun alangkah terkejutnya aku, ternyata mereka pun tak kunjung berubah!!!

Dan kini,
Sementara berbaring di tempat tidur, menjelang kematianku, baru kusadari:

“Andaikan yang pertama-tama kuubah dulu adalah diriku sendiri,

Maka lewat memberi contoh sebagai seorang panutan, mungkin keluargaku bisa kuubah, dan berkat inspirasi dan dorongan mereka, kemudian aku menjadi mampu memperbaiki negeriku, dan siapa tahu, bahkan aku juga bisa mengubah dunia!”

Baju-Baju Yang Menipu


Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.

Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?" Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Rabu, 06 Juli 2011

Cintai Rasulullah

Sesaat sebelum Rasulullah SAW wafat beliau bertanya pada Jibril,“Jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?”Jibril pun menjawab “ Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu.”.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh… kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi.“Khabarkan kepada ku bagaimana nasib umatku kelak?” Pinta Rasulullah.

“Jangan khawatir wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Sesaat kemudian, terdengar Rasulullah memekik, “YaAllah, timpakan saja semua sakitnya maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seraya berkata “Ummatii, ummatii, ummatii”- (Umatku, umatku, umatku). Dan berakhirlah hidup seorang manusia yang mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mencintai Rasulullah seperti Beliau mencitai kita? Mudah-mudahan kita termasuk umat yang selalu bershalawat kepada beliau Rasulullah S.A.W , sehingga kita bisa mendapatkan safaatnya kelak dihari pembalasan, amin.

Mandikan aku bunda…

Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.


Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.
Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.
Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”
Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”
Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.
Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.

kita saat ini masih jadi raja

Ada satu negeri yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Hal ini karena negeri itu diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijak. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya.
Suatu malam Sang Raja ingin keliling negeri melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan ditemani beberapa orang menteri dan pembantunya. Sang Raja secara diam-diam pergi keliling negeri. Di suatu rumah Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan.
Sang raja mendengar itu dan langsung bertanya kepada menterinya, bagaimana hal ini
bisa terjadi? Setelah berunding, mereka sepakat untuk secara diam-diam membawa sang anak ke istana malam itu juga dan mengangkatnya menjadi raja selama sehari.
Setelah si pemuda itu tertidur, secara diam-diam para ponggawa membawanya ke istana tanpa sepengetahuan siapapun.
Di istana si pemuda itu ditidurkan dalam kamar tidur yang besar dan mewah. Pagi harinya ketika terbangun, dia terheran-heran. Beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi raja. Para pembantu istana sibuk melayaninya.
Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena kehilangan anaknya. Dicarinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya.
Siang harinya sambil menangis bercucuran air mata si ibu pergi ke istana raja untuk meminta bantuan. Namun di gerbang istana si ibu tertahan oleh para penjaga istana.
Penjaga memberi tahu raja barunya bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan
kelaparan. Raja kemudian memerintahkan untuk memberi sedekah satu karung beras kepada ibu tua tersebut.
Malam harinya sang raja tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah. Tengah malam secara ponggawa istana secara diam-diam memindahkan kemballi pemuda yang sedang tidur lelap itu ke rumah ibunya. Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada di rumahnya kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh raja sekarung beras. Si Anak segera menyadari bahwa dia kemarin yang memberi sekarung beras itu. Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap raja, minta diangkat kembali menjadi raja.
Sang raja menolak. Si Pemuda tetap memohon, bahkan kalau perlu diangkat menjadi raja setengah hari saja. Jika dia menjadi raja, dia ingin mengirim beras ke ibunya lebih banyak lagi, tidak hanya sekarung seperti kemarin. Sang raja tetap menolak permohonan pemuda itu. Sambil menghiba-hiba pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja. Sang raja tetap menolak dengan alasan waktumu menjadi raja sudah habis. Dengan perasaan sangat menyesal dan menangis si pemuda pulang kembali ke rumah gubuknya dan melihat hanya ada sekarung beras di rumahnya, yang sebentar lagi juga habis dimakan mereka berdua.
Dia sangat menyesal mengapa waktu dia menjadi raja tidak mengirim beras banyak-banyak ke ibunya itu. Kini kesempatan itu telah hilang dan tak akan kembali.
Itulah tamsil penyesalan di akhirat bagi kita yang amalnya sedikit ketika hidup di dunia. Bukankah kita saat ini masih hidup di dunia? Yes… karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini.

Kita saat ini adalah raja…

aku ingin mencintaimu denga sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

For vieny, welcome to your husband’s heart.

*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.