Senin, 01 Agustus 2011

Biarkan HARAPAN Bercerita Tentang Dirinya


Apa yang mendorong petani berkeringat dan bekerja keras?
Adalah harapan akan memetik panen dari tanamannya.

Apa yang membuat seorang pedagang tergiur melakukan banyak perjalanan,
menempuh marabahaya, meninggalkan keluarga dan tanah air?
Adalah harapan akan mendapat keuntungan.

Apa yang mendorong seorang pelajar bersungguh-sungguh,
terus menerus belajar, begadang di malam hari, meresume dan menghafal?
Adalah harapan akan lulus.

Apa yang mendorong seorang tentara melakukan berbagai manuver heroic
dalam peperangan dan bersabar menghadapi peperangan yang ganas?
Adalah harapan akan mendapatkan kemenangan.

Apa yang membuat seorang pasien dengan sukarela maupun terpaksa meminum obat yang pahit?
Adalah harapan akan sembuh.

Apa yang mendorong seorang beriman menentang hawa nafsunya
dan bersusah payah melaksanakan ketaatan kepada Tuhannya?
Adalah harapan terhadap ridha dan surga Allah SWT.

Jadi...Biarkan HARAPAN bercerita tentang dirinya.....

(Oleh: Ust. Musyaffa Abdurrahim, Lc.)

Hasrat Mengubah Diri


Ketika aku masih muda serta bebas berfikir dengan khayalan, aku bermimpi untuk mengubah dunia.

Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung berubah.

Maka cita-cita itupun agak kupersempit, dan kuputuskan untuk hanya mengubah negeriku.

Namun tampaknya itupun tiada hasilnya.

Ketika usia senja mulai menjelang, lewat upaya terakhir yang penuh keputus asaan,
kuputuskan untuk mengubah hanya keluargaku, yaitu orang-orang yang paling dekat denganku.

Namun alangkah terkejutnya aku, ternyata mereka pun tak kunjung berubah!!!

Dan kini,
Sementara berbaring di tempat tidur, menjelang kematianku, baru kusadari:

“Andaikan yang pertama-tama kuubah dulu adalah diriku sendiri,

Maka lewat memberi contoh sebagai seorang panutan, mungkin keluargaku bisa kuubah, dan berkat inspirasi dan dorongan mereka, kemudian aku menjadi mampu memperbaiki negeriku, dan siapa tahu, bahkan aku juga bisa mengubah dunia!”

Baju-Baju Yang Menipu


Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University. Mereka meminta janji.

Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

"Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard", kata sang pria lembut.
"Beliau hari ini sibuk," sahut sang Sekretaris cepat.
"Kami akan menunggu," jawab sang Wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

"Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi," katanya pada sang Pimpinan Harvard.

Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang diluar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, "Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini. bolehkan?" tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. "Nyonya," katanya dengan kasar, "Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan."

"Oh, bukan," Sang wanita menjelaskan dengan cepat, "Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard."

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, "Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard."

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, "Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja ?" Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Kita, seperti pimpinan Hardvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju, acap menipu.

Rabu, 06 Juli 2011

Cintai Rasulullah

Sesaat sebelum Rasulullah SAW wafat beliau bertanya pada Jibril,“Jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?”Jibril pun menjawab “ Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu.”.

Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh… kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?” Tanya Jibril lagi.“Khabarkan kepada ku bagaimana nasib umatku kelak?” Pinta Rasulullah.

“Jangan khawatir wahai Rasulullah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: “Kuharamkan syurga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Sesaat kemudian, terdengar Rasulullah memekik, “YaAllah, timpakan saja semua sakitnya maut ini kepadaku, jangan pada umatku.” Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.

Bibirnya bergetar seraya berkata “Ummatii, ummatii, ummatii”- (Umatku, umatku, umatku). Dan berakhirlah hidup seorang manusia yang mulia yang memberi sinaran itu.

Kini, mampukah kita mencintai Rasulullah seperti Beliau mencitai kita? Mudah-mudahan kita termasuk umat yang selalu bershalawat kepada beliau Rasulullah S.A.W , sehingga kita bisa mendapatkan safaatnya kelak dihari pembalasan, amin.

Mandikan aku bunda…

Dewi adalah sahabatku, seorang mahasiswi yang berotak cemerlang dan memiliki idealisme yang tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not to be the best?,” begitu ucapan yang kerap kali terdengar dari mulutnya, mengutip ucapan seorang mantan presiden Amerika.
Ketika kampus mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht-Belanda, Dewi termasuk salah satunya.
Setelah menyelesaikan kuliahnya, Dewi mendapat pendamping hidup yang “selevel”, sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi. Tak lama berselang lahirlah Bayu, buah cinta mereka, anak pertamanya tersebut lahir ketika Dewi diangkat manjadi staf diplomat, bertepatan dengan suaminya meraih PhD. Maka lengkaplah sudah kebahagiaan mereka.
Ketika Bayu, berusia 6 bulan, kesibukan Dewi semakin menggila. Bak seekor burung garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Sebagai seorang sahabat setulusnya saya pernah bertanya padanya, “Tidakkah si Bayu masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal oleh ibundanya?” Dengan sigap Dewi menjawab, “Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya dengan sempurna”. “Everything is OK! Don’t worry. Everything is under control kok!” begitulah selalu ucapannya, penuh percaya diri.
Ucapannya itu memang betul-betul ia buktikan. Perawatan anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter termahal. Dewi tinggal mengontrol jadwal Bayu lewat telepon. Pada akhirnya Bayu tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas mandiri dan mudah mengerti.


Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang betapa hebatnya ibu-bapaknya. Tentang gelar Phd dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang berlimpah. “Contohlah ayah-bundamu Bayu, kalau Bayu besar nanti jadilah seperti Bunda”. Begitu selalu nenek Bayu, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Bayu berusia 5 tahun, neneknya menyampaikan kepada Dewi kalau Bayu minta seorang adik untuk bisa menjadi teman bermainnya di rumah apabila ia merasa kesepian.
Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Dewi dan suaminya kembali meminta pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Bayu. Lagi-lagi bocah kecil inipun mau ”memahami” orangtuanya.
Dengan bangga Dewi mengatakan bahwa kamu memang anak hebat, buktinya, kata Dewi, kamu tak lagi merengek minta adik. Bayu, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek dan sangat mandiri. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Dewi pada saya, Bayu selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Dewi sering memanggilnya malaikat kecilku. Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, namun Bayu tetap tumbuh dengan penuh cinta dari orang tuanya. Diam-diam, saya jadi sangat iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Dewi berangkat ke kantor, entah mengapa Bayu menolak dimandikan oleh baby sitternya. Bayu ingin pagi ini dimandikan oleh Bundanya,”Bunda aku ingin mandi sama bunda…please…please bunda”, pinta Bayu dengan mengiba-iba penuh harap.
Karuan saja Dewi, yang detik demi detik waktunya sangat diperhitungkan merasa gusar dengan permintaan anaknya. Ia dengan tegas menolak permintaan Bayu, sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Bayu agar mau mandi dengan baby sitternya. Lagi-lagi, Bayu dengan penuh pengertian mau menurutinya, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini terus berulang sampai hampir sepekan. “Bunda, mandikan aku!” Ayo dong bunda mandikan aku sekali ini saja…?” kian lama suara Bayu semakin penuh tekanan. Tapi toh, Dewi dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Bayu sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Bayu bisa ditinggal juga dan mandi bersama Mbanya.
Sampai suatu sore, Dewi dikejutkan oleh telpon dari sang baby sitter, “Bu, hari ini Bayu panas tinggi dan kejang-kejang. Sekarang sedang di periksa di ruang emergency”.
Ketika diberitahu soal Bayu, Dewi sedang meresmikan kantor barunya di Medan. Setelah tiba di Jakarta, Dewi langsung ngebut ke UGD. Tapi sayang…terlambat sudah…Tuhan sudah punya rencana lain. Bayu, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh Tuhannya. Terlihat Dewi mengalami shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah untuk memandikan putranya, setelah bebarapa hari lalu Bayu mulai menuntut ia untuk memandikannya, Dewi pernah berjanji pada anaknya untuk suatu saat memandikannya sendiri jika ia tidak sedang ada urusan yang sangat penting. Dan siang itu, janji Dewi akhirnya terpenuhi juga, meskipun setelah tubuh si kecil terbujur kaku.

Ditengah para tetangga yang sedang melayat, terdengar suara Dewi dengan nada yang bergetar berkata “Ini Bunda Nak….hari ini Bunda mandikan Bayu ya…sayang….! akhirnya Bunda penuhi juga janji Bunda ya Nak..”
Lalu segera saja satu demi satu orang-orang yang melayat dan berada di dekatnya tersebut berusaha untuk menyingkir dari sampingnya, sambil tak kuasa untuk menahan tangis mereka.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, para pengiring jenazah masih berdiri mematung di sisi pusara sang Malaikat Kecil.
Berkali-kali Dewi, sahabatku yang tegar itu, berkata kepada rekan-rekan disekitanya, “Inikan sudah takdir, ya kan..!” Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya di panggil, ya dia pergi juga, iya kan?”
Saya yang saat itu tepat berada di sampingnya diam saja. Seolah-olah Dewi tak merasa berduka dengan kepergian anaknya dan sepertinya ia juga tidak perlu hiburan dari orang lain.
Sementara di sebelah kanannya, suaminya berdiri mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pucat pasi dengan bibir bergetar tak kuasa menahan air mata yang mulai meleleh membasahi pipinya.
Sambil menatap pusara anaknya, terdengar lagi suara Dewi berujar, “Inilah konsekuensi sebuah pilihan!” lanjut Dewi, tetap mencoba untuk tegar dan kuat.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja yang menusuk hidung hingga ke tulang sumsum. Tak lama setelah itu tanpa diduga-duga tiba-tiba saja Dewi jatuh berlutut, lalu membantingkan dirinya ke tanah tepat diatas pusara anaknya sambil berteriak-teriak histeris. “Bayu maafkan Bunda ya sayaang..!!, ampuni bundamu ya nak…? serunya berulang-ulang sambil membenturkan kepalanya ketanah, dan segera terdengar tangis yang meledak-ledak dengan penuh berurai air mata membanjiri tanah pusara putra tercintanya yang kini telah pergi untuk selama-lamanya.
Sepanjang saya mengenalnya, rasanya baru kali ini saya menyaksikan Dewi menangis dengan histeris seperti ini.
Lalu terdengar lagi Dewi berteriak-teriak histeris “Bangunlah Bayu sayaaangku….bangun Bayu cintaku, ayo bangun nak…..?!?” pintanya berulang-ulang, “Bunda mau mandikan kamu sayang….tolong beri kesempatan Bunda sekali saja Nak….sekali ini saja, Bayu..anakku…?” Dewi merintih mengiba-iba sambil kembali membenturkan kepalanya berkali-kali ke tanah lalu ia peluki dan ciumi pusara anaknya bak orang yang sudah hilang ingatan. Air matanya mengalir semakin deras membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Bayu.
Senja semakin senyap, aroma bunga kamboja semakin tercium kuat menusuk hidung membuat seluruh bulu kuduk kami berdiri menyaksikan peristiwa yang menyayat hati ini…tapi apa hendak di kata, nasi sudah menjadi bubur, sesal kemudian tak berguna. Bayu tidak pernah mengetahui bagaimana rasanya dimandikan oleh orang tuanya karena mereka merasa bahwa banyak hal yang jauh lebih penting daripada hanya sekedar memandikan seorang anak.

kita saat ini masih jadi raja

Ada satu negeri yang sangat aman, rakyatnya makmur dan sentosa. Hal ini karena negeri itu diperintah oleh seorang Raja yang adil dan bijak. Raja ini selalu memperhatikan dan mementingkan kesejahteraan rakyatnya.
Suatu malam Sang Raja ingin keliling negeri melihat langsung kondisi rakyatnya. Dengan ditemani beberapa orang menteri dan pembantunya. Sang Raja secara diam-diam pergi keliling negeri. Di suatu rumah Sang Raja mendengar rintihan seorang pemuda yang kelaparan. Si Ibu dengan suara lemah mengatakan kepada anaknya bahwa dia sudah tidak memiliki lagi persediaan makanan.
Sang raja mendengar itu dan langsung bertanya kepada menterinya, bagaimana hal ini
bisa terjadi? Setelah berunding, mereka sepakat untuk secara diam-diam membawa sang anak ke istana malam itu juga dan mengangkatnya menjadi raja selama sehari.
Setelah si pemuda itu tertidur, secara diam-diam para ponggawa membawanya ke istana tanpa sepengetahuan siapapun.
Di istana si pemuda itu ditidurkan dalam kamar tidur yang besar dan mewah. Pagi harinya ketika terbangun, dia terheran-heran. Beberapa pembantu istana menjelaskan bahwa dia saat ini di istana kerajaan dan diangkat menjadi raja. Para pembantu istana sibuk melayaninya.
Sementara itu di tempat terpisah si ibu kebingungan dan cemas karena kehilangan anaknya. Dicarinya kemana-mana tapi sang anak pujaan hati tetap tak ditemukannya.
Siang harinya sambil menangis bercucuran air mata si ibu pergi ke istana raja untuk meminta bantuan. Namun di gerbang istana si ibu tertahan oleh para penjaga istana.
Penjaga memberi tahu raja barunya bahwa di luar istana ada seorang ibu tua lusuh dan
kelaparan. Raja kemudian memerintahkan untuk memberi sedekah satu karung beras kepada ibu tua tersebut.
Malam harinya sang raja tidur kembali di kamarnya yang megah dan mewah. Tengah malam secara ponggawa istana secara diam-diam memindahkan kemballi pemuda yang sedang tidur lelap itu ke rumah ibunya. Esok pagi si ibu sangat gembira karena telah menemukan kembali anaknya yang hilang kemarin. Sebaliknya si Pemuda heran kenapa dia ada di rumahnya kembali. Si ibu bercerita bahwa kemarin dia mencarinya kesana-kemari hingga pergi ke istana untuk minta bantuan, dan pulangnya dia diberi oleh raja sekarung beras. Si Anak segera menyadari bahwa dia kemarin yang memberi sekarung beras itu. Kemudian bergegas dia pergi ke istana dan menghadap raja, minta diangkat kembali menjadi raja.
Sang raja menolak. Si Pemuda tetap memohon, bahkan kalau perlu diangkat menjadi raja setengah hari saja. Jika dia menjadi raja, dia ingin mengirim beras ke ibunya lebih banyak lagi, tidak hanya sekarung seperti kemarin. Sang raja tetap menolak permohonan pemuda itu. Sambil menghiba-hiba pemuda itu minta hanya sejam saja bahkan beberapa menit saja. Sang raja tetap menolak dengan alasan waktumu menjadi raja sudah habis. Dengan perasaan sangat menyesal dan menangis si pemuda pulang kembali ke rumah gubuknya dan melihat hanya ada sekarung beras di rumahnya, yang sebentar lagi juga habis dimakan mereka berdua.
Dia sangat menyesal mengapa waktu dia menjadi raja tidak mengirim beras banyak-banyak ke ibunya itu. Kini kesempatan itu telah hilang dan tak akan kembali.
Itulah tamsil penyesalan di akhirat bagi kita yang amalnya sedikit ketika hidup di dunia. Bukankah kita saat ini masih hidup di dunia? Yes… karena itu, jangan sia-siakan kesempatan ini.

Kita saat ini adalah raja…

aku ingin mencintaimu denga sederhana

Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30 Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu memang lumayan pelik.

Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi. Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”

Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini. Nyatanya? Aku menarik napas panjang.

Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri? Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.

Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan, bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari cinta.

Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya. Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan. Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan manis di tempat tidur.

Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.

Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.

”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris. Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaranku lewat Diah.

”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?” tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah, aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih dari cukup buatku.

Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan cerita.

Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini, kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu. Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut perhatian suamiku.

Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku. Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.

”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia selalu berhasil menebak dengan jitu.

Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras. Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.

Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa. Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku membenarkan apa yang diucapkan Ibu.

Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’? Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain. Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya menarik perhatian lawan jenis.

”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa syukur…” Ibu berkata tenang.

Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar. Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?

Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?

Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.

Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai. Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap menunggunya di ruang tamu.

Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding, jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’ tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.

Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Lewat kata yang tak sempat disampaikan

Awan kepada air yang menjadikannya tiada

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana

Dengan kata yang tak sempat diucapkan

Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *

For vieny, welcome to your husband’s heart.

*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko Damono.

KEHIDUPAN FATHIMAH AZ ZAHRA

Hampir tidak mungkin kita bisa menggambarkan kebesaran dan kemuliaan Fathimah as. putri kesayangan Rasulullah Saw ini. Setiap kita membayangkan suatu kemuliaan yang mungkin bisa kita ungkapkan untuk menggambarkan kemuliaan atau kebesarannya maka terbersit dalam hati kita keraguan bahwa apa yang kita bayangkan itu masih terlalu kecil untuk seorang Fathimah.

Cara yang paling mungkin untuk menggambarkan kebesaran dan kemuliaan Sayyidah Fathimah al-Zahra adalah sebagaimana cara yang juga dilakukan oleh Rasulullah Saw, ayahanda beliau sendiri, yaitu membandingkan Fathimah dengan Maryam bunda Nabi suci Isa as. Banyak kesamaan yang bisa kita lihat pada kedua pribadi besar ini. Sisi yang paling menonjol dari kedua tokoh yang sangat dicintai oleh banyak orang ini adalah ibadah yang kuat dan penderitaan yang dialami keduanya, Fathimah dan Maryam ‘alaihimassalam. (Semoga salam dan kesejahteraan senantiasa dilimpahkan atas mereka berdua). Bayangkanlah jika saat itu Anda adalah bunda Maryam yang sedang melihat penyiksaan secara langsung atas “putra kandung”-nya yang shalih dan taat, diseret, disayat-sayat dengan sadis, dipukuli, diludahi, ditendang, dicaci-maki.


Itulah yang juga terjadi pada Fathimah putri dan kecintaan Rasulullah Saw. Segera sepeninggal Rasulullah Saw, sang putri nan suci ini mengalami cobaan dan ujian yang datang secara beruntun tanpa henti. Segera tidak lama setelah tubuh suci Rasul yang mulia dikuburkan, Fathimah mengalami perlakuan- perlakuan yang sebelumnya tidak pernah ia alami. Perampasan tanah Fadak, penghapusan hak khumus, pendobrakan pintu rumahnya, dan usaha-usaha ingin membakar habis rumahnya terjadi semasa jasad ayahnya yang sekaligus Rasul Allah masih “hangat” berada di dalam kuburnya. Dan terlebih lagi, seperti Maryam as, dia mulai merasakan masa-masa yang dekat yang mana putra- putrinya akan mengalami penderitaan yang lebih dahsyat lagi terutama apa yang bakal dialami oleh Husain putra yang sangat ia istimewakan ketimbang anak-anaknya yang lain. Sepeninggal ayahnya, Sayyidah Fathimah hidup selama 75 hari, masa-masa yg dilaluinya dengan berbagai kesedihan dan derita. Selama 75 hari itu, Jibril datang mengunjunginya, menyampaikan belasungkawa dan mengabarkan apa yg bakal menimpa dirinya dan keturunannya. Dari Jibril as lah, Fathimah mengetahui banyak hal yang berkaitan dengan Hasan Husein as, dan keturunannya yang lain.

Berikut ini adalah detik-detik terakhir kehidupan putri tercinta Nabi, Fathimah as di bawah ini: Tulang rusuk dan tangan Fathimah yang patah sangat membuat putri Nabi ini sangat menderita. Bahkan cedera yang sedemikian serius itu juga mengakibatkan bayi dalam kandungannya meninggal. *] Cedera fisik serta benturan mental yang dialaminya memperparah sakitnya. Sebaris bait dalam bentuk puisi yang dinyatakannya sebelum ia meninggal cukup memberikan gambaran betapa berat beban derita yang dirasakan putri kesayangan Nabi ini. Sekian banyak derita yang menimpaku pabila semua derita ini ditimpakan kepada siang, niscaya siang segera kan berubah menjadi malam Walau pun begitu, wanita mulia ini tetap mengatakan kepada seisi rumahnya bahwa ia merasa lebih baik, rasa sakit pada rusuk dan tangannya tidak lagi terlalu dirasakannya dan panas demamnya sudah mulai turun. Kemudian ia memandikan anak-anaknya, yang segera dibantu Ali dan Fizzah.
Ia memandikan anak-anaknya, mengganti pakaian mereka, kemudian mengantarkan mereka ke sepupunya. Lalu ia memanggil suami tercintanya, Ali ke sisinya seraya berkata dngan suara yang sangat lemah,”Ali, suamiku tercinta, engkau tahu mengapa kulakukan semua itu. Mohon engkau maafkan kesalahanku. Mereka, anak-anak kita, sudah demikian menderita bersamaku selama aku sakit, sehingga aku ingin hari ini mereka berbahagia di hari terakhir hidupku. “Wahai Ali, engkau pun tahu bahwa hari ini adalah hari terakhirku. Aku gembira tetapi sekaligus sedih. Aku gembira karena penderitaanku akan segera berakhir, dan aku akan segera bertemu dengan ayah tercinta, namun aku juga sedih, karena harus berpisah denganmu, dan anak-anakku. Kumohon Ali, catatlah apa yang akan kukatakan kepadamu dan lakukanlah apa yang kuingin engkau melakukannya. Sepeninggalku nanti, engkau boleh mengawini siapa saja yang engkau sukai, tetapi alangkah baiknya jika engkau mengawini sepupuku, Yamamah. Ia mencintai anak-anakku dan Husain sangat lengket dengannya. Biarlah Fizzah (pelayan Fathimah) tinggal bersama kalian, sekalipun ia sudah kawin, jika ia mau. Ia lebih dari sekedar pelayan bagiku. Aku mencintainya sebagai anak.
Wahai Ali, kuburkan jenazahku di malam hari dan jangan biarkan orang-orang yang telah berbuat sedemikian kejam kepadaku turut menyertai penguburan jenazahku. Dan jangan kematianku mengecilkan hatimu. Engkau mesti melayani Islam dan kebenaran untuk waktu yang lama. Janganlah penderitaanku membuat hidupmu kau rasakan pahit. Berjanjilah padaku, Ali…” “Ya..Fathimah, aku berjanji…” suara Ali bergetar “Wahai Ali…” Fathimah melanjutkan. “Aku tahu betapa engkau mencintai anak-anakku, tetapi khusus Husain, hati-hatilah kepadanya. Ia sangat mencintaiku dan ia akan sangat kehilanganku. Jadilah ibu baginya. Hingga menjelang sakitku ini ia biasa tidur lelap di atas dadaku. Sebentar lagi ia akan kehilangan itu.” Ali yang sedang mengelus-elus tangan Fathimah yang patah itu, tanpa disadarinya meneteskan air matanya dan jatuh di atas tangan Fathimah. Fathimah mengangkat wajahnya seraya berujar lembut, “ Jangan menangis, suamiku. Aku tahu…dengan wajah lahirmu yang kasar, namun betapa lembut hatimu sesungguhnya. Engkau sudah terlalu banyak menderita dan akan lebih banyak lagi derita yang akan kau alami. Selamat tinggal, tuanku, selamat tinggal kekasihku, selamat tinggal suamiku tercinta. Selamat tinggal Ali…Katakanlah selamat jalan untukku…”

Rasa sedih sudah sedemikian mencekik kerongkongannya, sehingga nyaris tidak lagi sanggup ia mengeluarkan sepatah kata pun. Ia mengatakan dengan ucapan yang telah bercampur air mata,”Selamat jalan Fathimah….” Fathimah melanjutkan, “Semoga Allah Yang Maha Pengasih menolongmu dalam menanggung penderitaan dan kesedihan ini dengan kesabaran. Sekarang biarkanlah aku sendiri dengan Tuhanku” Ketika Fathimah mengakhiri kata-katanya ini, ia langsung berpaling ke arah babut sajadah, lalu bersujud ke hadirat Allah.

Beberapa saat kemudian Sayyidina Ali memasuki ruangan. Ia mendapatkan Fathimah masih dalam keadaan bersujud tetapi jiwanya telah berangkat dijemput ayahnya menuju Rahmat Allah. Fathimah syahid dalam usia yang masih sangat muda, seperti yang dikatakan Sayyidina Ali : “Sekuntum bunga yang dipotong ketika sedang kuncup, dari Jannah kembali ke Jannah, dan telah meninggalkan semerbak wewangian ke dalam jiwaku!” Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun…. Tak ada dan takkan ada derita yang lebih hebat dari yang pernah dialami oleh mereka Ahlul Bait. Ketika mengingat Fathimah maka yang terbayang oleh kita hanya derita dan sengsara, seolah Fathimah adalah derita itu sendiri dan kesengsaraan adalah Ahlul Bait itu sendiri.

Salamun ‘alaiki ya Fathimah…salamun alaiki ya Fathimah! Salamun alaikum ya Ahli Baitirasuul…..Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali Muhammad!!! Inna lillahi wa inna ilaihi raji’uun….

Jumat, 24 Juni 2011

Tabarruk Dengan Ulama Atau Orang Shalih Serta Bekas Sentuhannya

MediaMuslim.Info – Apakah ada ulama yang membolehkan mengambil berkah dari para ulama dan orang-orang shalih serta bekas-bekas sentuhan mereka berdasarkan informasi berupa perbuatan dari sebagian Sahabat RadhiAllohu ‘anhum terhadap Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam? Apa hukumnya? Tidak bisakah diserupakan dengan selain Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam? Apakah mungkin mengambil berkah dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam setelah wafatnya beliau? Apakah hukum bertawassul (mengambil perantaraan dalam ibadah) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan berkah Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam?

Berikut jawaban ulama atas beberapa persoalan diatas yang kami kutip dari Kitab Majmu’ Al-Fatawa wal Maqalat Al-Mutanawwi’ah.

Tidak boleh mengambil berkah dari selain Rasululloh ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, dengan wudhunya, rambutnya, keringatnya atau bagian manapun dari tubuhnya. Semua itu hanya khusus bagi Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan tubuh beliau dan setiap yang menyentuhnya itu penuh kebaikan dan berkah.

Oleh sebab itu, para Sahabat RadhiAllohu ‘anhum tidak pernah mengambil berkah dari salah seorang di antara mereka semasa hidup atau sudah matinya, juga terhadap para Al-Khulafa Ar-Rasyidun dan yang lainnya. Itu menunjukkan bahwa mereka mengetahui bahwa hal tersebut khusus hanya kepada Nabi saja, tidak kepada yang lain. Karena yang demikian itu adalah sarana menuju kemusyrikan dan ibadah kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Demikian juga tidak dibolehkan bertawassul dengan selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dengan kemuliaan Nabi, jasad, sifat atau keberkahan beliau, karena tidak ada dalil, dan karena itu merupakan sarana menuju kemusyrikan dan sikap kultus terhadap beliau. Selain itu, perbuatan itu juga belum pernah dilakukan oleh para Sahabat RadhiAllohu ‘anhum. Kalau itu merupakan perbuatan baik, tentu mereka telah mendahului kita melakukanya. Demikian juga karena itu bertentangan dengan dalil-dalil syariat, seperti firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala, yang artinya: “Dan Alloh itu memiliki nama-nama yang baik, berdoalah dengan bertawassul dengannya..” (QS: Al-A’raaf: 180)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak menyuruh untuk berdoa kepadanya dengan kemuliaan seseorang, hak seseorang, atau keberkahan seseorang. Sama dengan bertawassul dengan asma Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bertawassul dengan sifat-sifat-Nya, seperti kemuliaan-Nya, rahmat-Nya, kalam-Nya dan lain-lain. Di antaranya yang diriwayatkan dalam hadits-hadits shahih berupa meminta perlindungan dengan kata-kata Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang sempurna (doa masuk ke satu tempat), dan meminta perlindungan dengan kemuliaan dan kekuasaan-Nya (doa mengobati sakit).

Di antara tawassul sejenis yang dibolehkan adalah bertawassul dengan kecintaan kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan kecintaan kepada Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, juga enggan iman kepada beliau. Karena bertawassul dengan amal shalih diriwayatkan dalam kisah beberapa orang yang terjebak dalam goa. Yakni ketika mereka berteduh di dalamnya dan hendak bermalam di situ, tiba-tiba jatuh batu besar dari atas gunung dan menutupi pintu gua. Mereka tidak mampu mendorongnya. Merekapun merundingkan cara untuk bisa selamat dari gua itu. Mereka bersepakat bahwa mereka hanya bisa selamat dengan berdoa, dengan perantaraan amal shalih mereka.

Yang pertama bertawassul dengan amalannya bahwa ia pernah melakukan perbuatan baik sekali kepada kedua orang tuanya. Mulailah batu karang itu bergeser sedikit, namun belum memungkinkan mereka untuk keluar.

Yang kedua bertawassul dengan amalannya bahwa ia memelihara diri dari zina, padahal ia mampu melakukannya. Maka bergeserlah batu itu sedikit lagi, namun belum memungkinkan mereka untuk keluar. Lalu yang ketiga bertawassul dengan amalan bahwa ia pernah menjaga amanah sedemikian rupa, maka terbukalah pintu gua itu bagi mereka.

Hadits tersebut tercantum dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim, dari Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam, dari kisah orang-orang terdahulu, karena mengandung pelajaran dan peringatan buat kita.

Para ulama telah menjelaskan jawaban yang diberikan di sini, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan murid beliau Ibnul Qayyim, Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majied Syarah dari Kitabut Tauhid dan yang lainnya. Adapun hadits tawassul orang buta kepada Nabi pada masa hidupnya, lalu Nabi ShallAllohu ‘alaihi wa Sallam memberikan syafa’at kepadanya dan mendoakannya sehingga Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengembalikan penglihatannya, maka itu termasuk tawassul dengan doa dan syafa’at beliau, bukan kemuliaan beliau dan hak beliau. Itu jelas sekali dalam hadits tersebut. Sebagaimana di Hari Kiamat nanti manusia akan meminta syafa’at kepada beliau dalam memutuskan perkara mereka. Dan sebagaimana para penghuni Surga nanti juga akan meminta syafa’at kepada beliau untuk masuk Surga mereka. Itu termasuk bertawassul dengan beliau ketika beliau hidup di kehidupan Akhirat nanti. Itu termasuk tawassul dengan doa dan syafa’at beliau, bukan dengan jasad dan hak atau kemuliaan beliau, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama, di antaranya yang telah kami sebutkan tadi.

(Sumber Rujukan: Kitab Majmu’ Al-Fatawa wal Maqalat Al-Mutanawwi’ah oleh Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah VII: 65)

Allah Adalah Dewa Bulan??? Benarkah??!!

Studi tentang Islam tetap merupakan bidang kajian yang masih akan menarik sampai masa yang sukar diperkirakan ke depan. Ditambah lagi ‘tesis’ Samuel Huntington yang dikenal dengan wacana “ the Clash of Civilizations” nampaknya meneguhkan bahwa eksistensi Islam di masa depan akan turut meramaikan diskursus pemikiran yang berkembang. Dalam tesis tersebut Hutington menyatakan bahwa di antara berbagai peradaban besar yang masih eksis hingga saat ini adalah Islam, satu-satunya peradaban yang berpotensi mengguncang peradaban barat. Seolah menegaskan peran Islam dimasa mendatang, Huntington menekankan, bahwa konflik antara Islam dan Kristen baik Kristen Barat maupun Orthodoks adalah konflik yang sebenarnya. Sedangkan konflik antara kapitalis dan Marxis, hanyalah konflik sesaat dan superfisial. “The twentieth-century conflict between liberal democracy and Marxist-Leninism is only a fleeting and superficial historical phenomenon compared to the continuing and deeply conflictual relation between Islam and Christianity”.[1]

Di pihak lain Barat sedang dihantui dengan kebangkitan Islam di wilayahnya sendiri. Fenomena konversi agama menuju Islam di Barat tidak dapat diabaikan sebagai angin lalu apalagi dipandang sebelah mata. Sementara itu fenomena gereja yang kosong, gereja yang dijual dan menjadi tempat diskotik, dan gereja yang bangkrut karena ditinggalkan umatnya sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Tidak mengherankan jika sejumlah kalangan menjadi gerah ketika mencermati perkembangan Islam yang pesat tersebut. Peristiwa runtuhnya gedung WTC 11 September yang seharusnya mengkanvaskan Islam dalam keterpurukan, justru berbalik arah menguatkan Islam di Barat. Peristiwa tersebut justru memancing minat banyak kalangan untuk mencermati dan mempelajari Islam dan pada giliran selanjutnya masuk Islam karena tertarik dengan keluwesan ajarannya.
Robert Morey adalah salah satu tokoh yang merasa tidak nyaman dengan fenomena pertumbuhan Islam di Barat. Salah satu bukunya yang berjudul Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion (artinya : Invasi Islam – Cara Menghadapi Agama yang paling Cepat berkembang di dunia), setidaknya telah menegaskan phobia Morey terhadap Islam dan perkembangannya. Din Syamsuddin, tokoh Muhammadiyah, menilai bahwa buku ini sebenarnya tidak memiliki basis akademis ilmiah melainkan hanya sekedar mengokohkan sikap kebencian dan penghinaannya terhadap Islam. Menurutnya, buku tersebut tidak perlu ditanggapi dan layak masuk tong sampah.[2] Dalam hal ini penulis sepakat dengan Din Syamsuddin. Namun mencermati kenyataan yang ada bahwa buku tersebut terlanjur menyebar kepada sejumlah kalangan muslim, maka hemat penulis, isi buku tersebut perlu diluruskan agar tidak terjadi misunderstanding dan misperception terutama di kalangan muslim awam. Juga mengingat bahwa buku Morey tersebut termasuk buku popular di Barat dan dimungkinkan akan menjadi rujukan ilmuwan Barat generasi berikutnya. Terkait hal ini, penulis tidak sepakat terhadap pelarangan buku tersebut, sebab tulisan Morey ini justru merupakan bukti otentik kebencian tokoh Kristen yang telah mengkristal sekaligus menjadi sample bahwa keilmuan Barat seringkali dilandasi dengan motif dan kepentingan, diawali dengan kecurigaan, memasukkan dugaan dalam proses analisa, dan berakhir dengan kesimpulan yang meragukan, dalam hal ini hasil kajian dipandang sebagai kebenaran relatif.

Salah satu pembahasan pokok yang dilakukan Robert Morey terhadap Islam adalah kajiannya tentang asal-usul nama Allah, Illah dalam Islam. Menurut Morey, Allah adalah nama dewa Bulan yang berasal dari kepercayaan pagan di dunia Arab pra Muhammad. Morey berusaha meyakinkan pembacanya memberikan bukti melalui temuan arkeologis di sejumlah situs purbakala di Timur Tengah.

Tulisan ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa analisa Morey tentang Allah tersebut pada ghalibnya tidak lebih sekedar ‘sulapan’ ilmiah seorang sophist. Sesuatu yang dibuat-buat dan diada-adakan untuk mengelabui pembacanya. Sekaligus melakukan sebuah upaya perbandingan dengan konsep nama tuhan dalam kekristenan, sebagaimana semangat yang sama telah dibangun oleh Robert Morey terhadap Islam.

SPEKULASI TENTANG NAMA ALLAH

Spekulasi Robert Morey bahwa nama Allah diadopsi Islam dari nama Dewa Bulan bangsa Arab, adalah konklusi ahistoris dan serampangan. Dalam paparannya, Morey mengetengahkan sejumlah ‘fakta arkeologis’ tentang Dewa Bulan bernama Allah.[3] Anehnya kesimpulan Robert Morey tersebut hanya didasarkan fakta bahwa sebelum Nabi Muhammad lahir, bangsa Arab telah mengenal nama Allah. Kemudian secara kebetulan ditemukan sejumlah patung yang diduga sebagai patung Allah[4] dengan lambang bulan sabit di atasnya. Sedangkan bulan sabit adalah lambang yang secara umum terdapat di menara atau kubah masjid tempat ibadah umat Islam.[5] Lantas Robert Morey mengambil kesimpulan bahwa Allah adalah nama Dewa Bulan bangsa Arab. Sungguh analisa Morey tersebut tidak lebih merupakan sebuah peragaan intelektualitas yang terbelakang.

Tuduhan seperti dinyatakan oleh Morey, bahwa Allah adalah salah satu nama dewa Arab pra Muhammad bukan pertama kalinya dilontarkan oleh penganut Nashrani. Sejumlah kalangan Kristen, sebagaimana dipaparkan oleh Bambang Noorsena, telah mengembangkan wacana yang menganggap bahwa Allah adalah nama Dewa Air bangsa Arab.[6] Dasar yang digunakan, masih menurut Noorsena, adalah buku-buku yang dipahami secara parsial dan lepas dari konteks. Bambang Noorsena sendiri adalah ‘pembela’ nama Allah dalam Kristen. Baginya, nama Allah telah dikenal oleh penganut ajaran Nasharani sejak masa sebelum kedatangan Islam. Agaknya Noorsena mencoba membangun dasar, bahwa Islam telah banyak mengambil konsep Kristen, terutama Kristen Orthodoks Syria, sebagai material pokok peyusunan doktrin keislaman, bukannya mencoba mengungkap keterkaitan Islam dalam rumpun Ibrahimic religion. Dalam hal ini Noorsena mengiyakan pemikiran Arthur Jeferry (m.1959).[7]

Persoalannya, persepsi dunia Kristen terhadap nama Allah dalam Islam kenyataannya tidak sama. Jika ‘sosok’ Allah yang dimaksud dalam kedua konsep (Dewa Bulan dan Dewa Air) adalah pribadi yang sama, maka justru terjadi kerancuan konseptual, dimana dewa air tidak sama dengan dewa bulan. Satu pribadi di satu pihak tidak dapat mewakili pihak yang lain secara bersamaan. Berbeda jika konsep yang ada justru menjelaskan bahwa Allah adalah sosok yang bukan hanya menguasai bulan dan air, namun kekuasaannya meliputi segala sesuatu yang ada.

Ajaran mendasar Al Islam merupakan millah Ibrahim (Ibrahimic Faith) dan penyempurnaannya. Bangsa Arab telah mengenal nama Allah tersebut melalui sisa-sisa ajaran Ibrahimic Faith.[8] Sebab bangsa Arab merupakan keturunan langsung Nabi Ibrahim melalui anaknya, yaitu Nabi Ismail. Maka tidak mengherankan, jika fenomena kehanifan dengan hanya menyembah Allah dan menghindarkan diri dari penyembahan berhala telah ada sejak lama dalam kehidupan bangsa Arab sebelum periode kenabian Muhammad.[9] Hal ini juga menjelaskan adanya kesinambungan ajaran para Nabi sejak Adam sampai Nabi Muhammad.

Sebagian dari masyarakat Arab sebelum Nabi Muhammad memiliki kecenderungan memuja fenomena alam seperti bintang, bulan, matahari, jin, dan lain-lain. Allah ditempatkan sebagai kekuatan tertinggi, bahkan di atas dewa-dewa ciptaan bangsa Arab.[10] Pembuatan patung-patung atau berhala para dewa tersebut dianggap sebagi wasilah (perantara) umtuk memuja Allah, kekuatan tertinggi tersebut. Prof. Dr. Raji al Faruqi dan Louis Lamya’ al Faruqi, dalam sebuah pembahasan penelitian sejarah dan arkeologi, menyebutkan bahwa nama Allah telah dikenal bangsa Arab sejak lama. Nama tersebut ditujukan bagi sebuah kekuatan tertinggi di atas dewa-dewa Arab,[11] bukan merupakan nama diri dari Dewa Bulan sebagaimana kesimpulan Robert Morey. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai hasil pembauran konseptual antara sisa ajaran Ibrahimic Faith dengan dinamisme dan animisme yang kemudian tumbuh dalam masyarakat Arab selama kurun masa yang panjang. Maka penisbatan asma Allah sebagai nama Dewa Bulan, sebagaimana dilakukan oleh Morey, jelas merupakan kesimpulan gegabah dan spekulatif. Anehnya, pemikiran Morey tersebut seringkali diiyakan dan dirujuk oleh sejumah penulis Barat. Dan memang demikianlah ilmuwan Barat.

Singkatnya, konsepsi ketuhanan Allah dibandingkan dengan ketuhanan berhala, seperti Latta, Uzza, dan Mannath serta kekuatan alam lainnya, dalam pemikiran masyarakat Arab pra Muhammad adalah dua hal yang berbeda. Masing-masing telah memiliki kerangka konsep yang berlainan. Hal ini diungkapkan secara tegas dalam Tafsir Al Maraghi sebagai berikut :

Bangsa Arab jahiliyah[12] dahulu kalau ditanya : “Siapa pencipta langit dan bumi ?” Jawabnya , “Allah”. Jika ditanya :” Apakah Laata dan Uzza bisa menciptakan sesuatu ? Jawabnya : “Tidak”.[13]

Robert Morey

SEBUAH BANGUNAN WORLDVIEW

Usaha yang dilakukan Robert Morey dalam mendekonstruksi konsep ketuhanan Islam tersebut, tentu tidak lepas dari worldview kekristenan yang dikuasainya. Nampaknya Morrey berambisi untuk membuktikan ungkapan the old tests the new, yang maksudnya “Otoritas yang datang terlebih dahulu harus digunakan untuk mengukur otoritas yang datang kemudian’, tanpa mempertimbangkan bahwa proses amandemen terhadap otoritas terdahulu dimungkinkan terjadi. Tanpa disadarinya, asumsi-asumsi bahwa Allah adalah sebutan dari nama salah satu dewa dari masa silam tersebut, banyak dipengaruhi oleh sejarah konsep ketuhanan dalam Kristen yang sejak awal telah rancu dan problematis. Oleh karenanya, maka Robert Morrey juga membangun persepsi sekaligus imaginasi yang sama terhadap Islam.

Dalam penulisan Perjanjian Lama, dikenal beberapa teori sumber penulisan. Diantaranya adalah sumber Yahwis (Y) dan Sumber El atau Elohim (E). Sumber Yahwist adalah sumber perjanjian Lama yang menyebut nama Tuhan dengan sebutan Yahwe.[14] Sedangkan Sumber El atau Elohim adalah sumber Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa nama Tuhan adalah El atau Elohim.[15] Bambang Noorsena mengakui bahwa berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang, nama Yahwe pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan, Asyera. Salah satu bunyi inskripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebutkan oleh Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.) adalah sebagai berikut : Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah (Aku memberkati engkau demi Yahweh dari Smaria dan demi Asyera).[16] Sementara itu El atau Elohim sendiri adalah nama dewa bangsa Kanaan yang paling tinggi dalam pantheon (sidang para dewa), dimana El adalah ketuanya.[17] Dalam perkembangan selanjutnya nama El kemudian diterima sebagai nama Tuhan bangsa Israel, sebagaimana tertulis dalam Perjanjian Lama.[18]

KESIMPULAN

Tulisan Robert Morey tentang asal usul nama Allah adalah sekedar fitnah dan kejahatan ilmiah belaka. Pemikiran Morey tersebut bisa dipahami lahir dari Worldview kekristenan yang digelutinya. Dalam hal ini melalui bukunya The Islamic Invasion, Morey bukan sedang melakukan proses perbandingan agama sebagimana klaim dalam sampulnya, namun tidak lebih merupakan reaksi orang yang terkaget-kaget akan perkembangan islam dan karena islamophobia telah menjangkiti dirinya sejak awal maka dia berusaha menjatuhkan ajaran Islam yang dimusuhinya.

[1] Samuel P. Huntington. The Clash of Civilization and the Remaking of World Order. (Touchtone Books, New York, 1996). Hal. 209

[2] Lihat Majalah Islam Sabili No. 11 Th. XI/2003. Hal. 23

[3] Robert Morey. Islamic Invasion : Confronting the World’s Fastest Growing Religion. (Christian Scholar Press, Las Vegas, 1992). Hal. 257

[4] Robert Morey. Ibid. Hal. 260

[5] Kenyataannya lambang bulan sabit dan bintang di atas menara masjid sama sekali tidak dikenal pada masa nabi Muhammad, para Shahabat, dan bahkan Tabi’in. Namun baru muncul pada masa-masa selanjutnya. Selain itu pembangunan masjid, secara umum, terkait bentuknya tidak pernah dibatasi dengan sebuah model secara khusus. Namun diserahkan sebagai urusan manusia dengan pembatasan tetap sesuai korodor syari’ah. Misalnya tidak terdapat gambar makhluk bernyawa di dalamnya, tidak boleh ada patung, tidak boleh dibangun di atas kuburan orang shaleh, dibangun dengan harta yang halal, tanah tempat bangunan tidak diperkenankan mendhalimi pemilik sebelumnya, dan sebagainya.

[6] Bambang Noorsena. Menuju Dialog Teologis: Kristen-Islam. (Penerbit Andi, Yogyakarta, 2001). Hal. 69. Bambang Noorsena adalah tokoh Kristen Orthodoks Syria dan staff pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana.

[7] Arthur Jeffery adalah orientalis asal Inggris yang berusaha membuktikan bahwa sekitar 275 kata dalam Al Quran berasal dari kosa kata asing akibat pengaruh Bahasa Ethiopia, Aramaik, Syriak, Yunani Kuno, Persia, dan bahasa lainnya. Arah kajian Jeffery ini bermuara pada konklusi bahwa Al Quran mengambil sejumlah konsep asing Yahudi dan Kristen dari sejumlah bahasa tersebut dalam pembentukan ajaran Islam. Dengan demikian ajaran Islam terbentuk dari unsur pinjaman dari ajaran Yahudi dan Kristen melalui proses adopsi dan adaptasi. Kajian Jeffery ini dinilai tendensius dan terlalu dipaksakan. Beberapa penulis muslim telah membuktikan bahwa kesamaan sejumlah kosa kata dalam Al Quran tidak selalu menunjukkan adanya konsep pinjam-meminjam secara intercultural ataupun konseptual. Salah satu tulisan yang bisa dibaca Adnin Armas, MA. Kritik Arthur Jeffery terhadap al Quran. Dalam Majalah ISLAMIA. Th. I No. 2/2004. Hal. 7-19. Imam Syafi’i, jauh sebelumnya, telah membuktikan bahwa tidak ada perkataan asing dan sulit dimengerti dalam Bahasa al Quran. Sebab semua kosa kata dalam Al Quran tersebut telah banyak termuat dalam syair bangsa arab sebelum kelahiran Nabi Muhammad. Kisah lain, suatu ketika Ibnu Abbas didatangi oleh Nafi’ ibn al-Azraq dan bertanya kepada beliau tentang lafadz-lafadz pelik dalam Al Quran (gharib Al Quran). Tidak kurang dari 250 kata dalam Al Quran yang tidak dipahami oleh Nafi’ ditanyakan kepada Ibn Abbas. Ibnu Abbas menerangkan ke -250 kata tersebut disertai penggunaannya dalam syair-syair jahiliyah. Hal ini juga membuktikan bahwa lafadz-lafadz yang diklaim bukan Bahasa Arab sebenarnya telah dikenal dan dipahami oleh bangsa Arab jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad.Kata-kata itulah yang sebagian besar dipermasalahkan oleh Arthur Jeffery. Dengan demikian sebenarnya persoalan yang dikemukakan oleh Jeffery tentang kata-kata asing tersebut hanyalah persoalan lama dan usang dalam studi Islam klasik yang diungkit-ungkit kembali. Selengkapnya tentang pembahasan ke-250 kosa kata yang dimaksud, baca Muhammad Abdurrahim dan Ahmad Nashrullah (ed.). Gharib Al Quran fi Shi’ri al Arab: Su’alat Nafi’ ibn al-Azraq ila ‘Abdillah ibn ‘Abbas. (Mu’assasah al Kutub al Thaqafiyyah, Beirut, 1993). Selain itu pertukaran kosa kata antara dua bahasa yang berbeda, bukan merupakan hal yang aneh. Bahkan tidak selalu diikuti dengan pertukaran nilai yang terkandung dalam bahsa tersebut. Dalam teori pinjam meminjam, dinyatakan bahwa sesuatu yang dipinjam sebuah peradaban dari peradaban yang lain tidak selalu ditelan secara mentah-mentah oleh peradaban yang meminjam. Terdapat serangkaian proses, untuk mengolah substansi kata-kata asing sehingga menyesuaikan dengan nilai peradaban peminjam. Oleh karena itu keimulan Jeffery yang menyatakan bahwa pada saat Al quran mengadopsi kata-kata asing hal tersebut membuktikan bahwa Al Quran merupakan konsep yang dirancang dari pengaruh-pengaruh ajaran asing, termasuk ajaran Nashrani dn Yahudi, jelas kurang beralasan dan terlalu dipaksakan.

[8] Dalam keyakinan Islam, nama Allah telah dikenal sejak zaman Nabi Adam, manusia pertama.

[9] Syaikh Munir Muhammad al Ghadban. Manhaj Haraki : Strategi Pergerakan dan Perjuangan Politik dalam Sirah Nabi SAW. Terjemah oleh Aunur Rafiq Shalih Tamhid,. dkk dari Al Manhaj al Haraki li as Sirah an Nabawiyyah. (Robbani Press, Jakarta, 1992). Hal. 27

[10] DR. Ali Anwar, M.Si dan Drs. Tono TP. Rangkuman Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat. (Pustaka Setia, Bandung, 2005). Hal. 71

[11] Ahmad Husnan. Ilmiah Intelektual dalam Sorotan. (Ulil Albab Press, Surakarta, 1993). Hal. 86

[12] Masa jahiliyah adalah masa pra kenabian Muhammad. Dianggap sebagai masa paling suram dalam sejarah Arab masa silam dimana masyarakat tenggelam dalam pola piker yang salah.

[13] Syaikh Ahmad Musthofa Al Maraghi. Tafsir Al Maraghi. Juz 1. (Ramadhani, Surakarta, 1989). Hal. 7

[14] Dr. J. Blommendaal. Pengantar Kepada Perjanjian Lama. Cetakan IV. (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1988). Hal. 18

[15]Dr. J. Blommendaal. Ibid. Hal. 19

[16] Andrew D. Clarcke dan Bruce W. Winters (ed.) . Satu Allah, Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah tentang Pluralisme Agama. Terjemahan dari One God, One Lord: Chritianity in a Word of Religious Pluralism. Hal. 50. Dalam Bambang Noorsena. Opcit. Hal. 70

[17] Dr. J. Blommendaal. Opcit. Hal. 32

[18] Pada perkembangan selanjutnya nama Yahwe dan El atau Elohim tidak dapat diketemukan dalam perjanjian Lama sebab nama tersebut diterjemahkan menjadi Tuhan, Bapa, dan sebagainya. Hal ini mengikuti penterjemahan sebelumnya dimana nama Tuhan diterjemahkan dengan God, Dieu, atau Theos.